Fatwa Tarjih: Berhaji dengan visa non-haji, Bagaimana Hukumnya?

Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, disebutkan bahwa Visa legal yang dapat digunakan untuk berhaji ada dua. Pertama, visa haji kuota Indonesia, baik kuota reguler dan khusus. Kedua, Visa haji Mujamalah berupa undangan Pemerintah Kerajaan Saudi, atau juga dikenal dengan Haji Furoda. Berdasarkan ini, maka Visa haji hakikatnya merupakan izin tertulis yang diberikan oleh pejabat berwenang di Kantor Perwakilan Pemerintah Arab Saudi di Indonesia, yang memungkinkan pemegangnya untuk melakukan perjalanan haji ke wilayah Kerajaan Arab Saudi. Pihak yang melaksanakan Haji tanpa Visa yang disebutkan dalam undang-undang, -seperti menggunakan visa Ziarah- dalam kaca mata hukum tidak diperkenankan dan dianggap hajinya secara ilegal.

Dalam Islam sendiri, diketahui bahwa, Haji adalah ibadah yang sangat penting dalam Islam karena merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Sebagai salah satu kewajiban agama, haji membutuhkan persiapan yang sangat besar dan matang. Dalam potongan Surah Ali Imran, ayat 97 disebutkan:

…وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

…(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.

Ayat ini menunjukkan bahwa kewajiban haji mempersyaratkan persiapan yang matang, atau dalam ayat diungkapkan dengan kata istṭā‘ah. Persiapan ini tidak hanya melibatkan aspek spiritual, tetapi juga aspek logistik dan administratif yang sangat kompleks. Oleh karena itu, pelaksanaan haji perlu melibatkan pemerintah agar dapat dilaksanakan dengan baik dan tertib. Dengan demikian, Persiapan haji tidak hanya dilihat dari kesiapan fisik, finansial dan logistik, tetapi juga administratif (al-Istiṭā‘ah al-Idāriyyah). Dalam konteks ini, maka sejatinya orang yang tidak bisa memenuhi visa haji resmi, maka ia tidak memenuhi kesiapan dari segi administratif ini.

Selain tidak memenuhi syarat kesiapan dari segi administratif, berhaji dengan visa non haji ternyata melahirkan mudarat dan mafsadah yang tidak sedikit. Mafsadah pertama, berhaji tanpa Visa haji resmi akan mendatangkan bahaya dan kerugian, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Kerugian yang bisa didapatkan untuk diri sendiri berupa ancaman hukum yang tidak ringan. Dalam laman resmi Kementerian Agama Republik Indonesia (kemenag.go.id) disebutkan bahwa jamaah yang tertangkap menggunakan visa Ziarah, akan ditahan, dideportasi dan berpotensi denda sebesar 10 ribu Riyal yang setara dengan Rp. 42 Juta. Keterangan denda ini pun dikonfirmasi oleh Wuzārah ad-Dākhilah al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su‘ūdiyyah pada laman resmi mereka (moi.gov.sa). Haji dengan visa non haji juga melanggar keimigrasian yang berpotensi sanksi berupa larangan berhaji selama 10 tahun berturut-turut.

Adapun bahaya yang ditimbulkan kepada orang lain adalah menyebabkan penyelenggaraan haji tidak berjalan maksimal, yang nantinya akan berimbas pada banyak aspek. Suatu perbuatan yang menimbulkan bahaya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain adalah hal yang tidak dibolehkan. Hadis Nabi saw dari Sahabat ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit yang ditakhrij salah satunya oleh Ibn Mājah -dan telah menjadi kaidah ushul- menyebutkan:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ: أَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قَضَى أَنْ: “‌لَا ‌ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Dari ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit, bahwa Rasulullah saw menetapkan bahwa tidak boleh ada sesuatu yang membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh pula membahayakan pihak lain

Karena itu, berhaji dengan visa non haji adalah perbuatan yang terlarang karena menimbulkan banyak mafsadah dan terjadinya perlu dicegah. Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa menghindari berbagai mafsadah lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan,

‌دَرْءُ ‌الْمَفَاسِدِ ‌مُقَدَّمٌ عَلى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Menghindari kemafsadahan-kemafsadahan lebih didahulukan daripada meraih berbagai kemaslahatan.

Mafsadah Kedua, yang ditimbulkan adalah ketidakadilan bahkan sampai pada taraf mengambil hak orang lain. Dalam prakteknya, berhaji tanpa visa haji resmi secara otomatis mengambil jatah orang lain. Di tahun 2023 saja, terdapat kasus 100.000 jamaah indonesia yang berhaji dengan menggunakan visa Ziarah. Overcapacity ini pada akhirnya membuat space semakin sempit, baik di area tawaf, sai, lempar jumrah, wukuf di Arafah, mabit Muzdalifah dan Mina.  Padahal, berdasarkan laporan Direktorat Jenderal, Penyelenggaraan Haji dan Umrah, space jamah di Muzdalifah diperkirakan hanya sekitar 0,29 m2, lebih sempit dari tahun lalu, sekitar 0,45m2. Dengan banyaknya jamaah non visa haji, maka banyak tempat haji menjadi semakin padat dan sesak. Hingga pada kondisi tertentu membuat jamaah lain terganggu, pingsan bahkan berakibat kematian.

Dampak buruk ini, menunjukkan bahwa berhaji tanpa visa sejatinya merupakan tindakan mengambil dan merampas hak orang lain. Karenanya bisa dikategorikan sebagai tindakan pidana dalam sudut pandang syariat (jarīmah dīniyyah). Padahal, Allah mempersyaratkan proses yang baik di dalam melakukan kebaikan, utamanya ibadah yang bersifat khusus termasuk di dalamnya Haji. Dalam surah al-Baqarah ayat 188 disebutkan,

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ

Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.

Mafsadah ketiga, berhaji dengan visa non haji merupakan tindakan Penipuan. Hal ini karena ia perlu melakukan pemalsuan dokumen dan manipulasi informasi. Dengan begitu, menggunakan visa selain visa haji untuk melaksanakan haji dapat dianggap sebagai bentuk penipuan terhadap pemerintah dan pihak berwenang. Rasulullah sendiri mengancam orang yang melakukan penipuan (al-gasyyu) dengan tidak diakui sebagai bagian dari umatnya. Hadis Nabi saw yang ditakhrij oleh Imam Muslim dari Sahabat Abu Hurairah r.a. menyebutkan,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: « مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “siapa yang mengangkat senjata (memerangi) kami, maka ia tidak termasuk dari kami dan siapa yang menipu kami, ia pun tidak termasuk dari kami.

Dalam sebuah hadis juga disebutkan bahwa umat Islam harus taat dan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah ia sepakati. Dalam hadis yang terdapat dalam al-Muwaṭṭa`, dari Sahabat Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda

‌الْمُسْلِمُونَ ‌عَلَى ‌شُرُوطِهِمْ

Umat Islam harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati.

Berdasarkan hal ini, maka dapat diketahui dalam proses pelaksanaannya berhaji dengan visa non haji mengandung banyak hal-hal yang bisa digolongkan sebagai bentuk kefasikan yang dilarang dalam pelaksanaan haji. Dalam potongan ayat 197, Surah al-Baqarah disebutkan,

… فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ …

…Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji…

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmdzi dari sahabat Abu Hurairah juga disebutkan,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: «‌مَنْ ‌حَجَّ ‌فَلَمْ ‌يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda barang siapa yang berhaji dan tidak melakukan perkara keji (rafaṡ) dan tidak melakukan kefasikan, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.

KesimpulanPertama. Berhaji wajib hukumnya menggunakan visa Haji resmi, karena merupakan bagian dari istiṭ‘āh idāriyyah (kemampuan administratif)yang dipersyaratkan. Kedua, Berangkat Haji dengan visa non haji adalah perbuatan terlarang karena menyebabkan banyak mafsadah di antaranya, merugikan diri sendiri dan orang lain, tindakan ketidakadilan karena mengambil hak orang lain, dan termasuk dari penipuan.

Rekomendasi: Pertama, meminta kepada pemerintah untuk dengan segera mengambil tindakan pencegahan dan menutup jalan terjadinya penyalahgunaan visa zairah untuk melanggar regulasi haji Kedua,pemerintah indonesia perlu membangun koordinasi dengan Pemerintah Saudi yang terkait. Dalam hal ini, keterlibatan Kementerian Luar Negeri Indonesia dan Kementerian Luar Negeri Saudi. Ketiga, Selain dengan pihak Saudi, pemerintah indonesia juga perlu membangun koordinasi yang baik antar tiga kementerian terkait, yaitu Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan Ham serta Kementerian Perhubungan agar secara serius mencegah peluang pihak manapun bisa berhaji tanpa menggunakan visa haji. Salah satunya dengan tidak mengeluarkan visa ziarah bagi siapa saja yang dikhawatirkan memanfaatkannya untuk berhaji secara ilegal.

Related Articles

slots