Murur di Muzdalifah, Bolehkah?
Terkait ketentuan murur di Muzdalifah, Majelis Tarjih telah memberikan keterangan, baik melalui Tuntunan Manasik Haji, maupun Keputusan terkait Haji yang termuat dalam Himpunan Putusan Tarjih jilid III. Dalam HPT Jilid III disebutkan dua poin penting.
Pertama, Muzdalifah didatangi jamaah haji ketika matahari pada 9 Zulhijah telah terbenam. Selama perjalanan dari Arafah menuju Muzdalifah, dituntunkan untuk membaca talbiyah dan berdoa. Selama mabit, salat Magrib dan Isya ditunaikan secara jama’ ta`khīr dan qaṣar. Istirahat tidur dilakukan hingga waktu fajar. Praktik ini sesuai dengan tuntunan Nabi saw, salah satunya, hadis Nabi saw dari Sahabat Jabir yang diriwayatkan oleh Muslim,
عن جابر…حَتَّى أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ، فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ، وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا شَيْئًا، ثُمَّ اضْطَجَعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ، وَصَلَّى الْفَجْرَ حِينَ تَبَيَّنَ لَهُ الصُّبْحُ بِأَذَانٍ وَإِقَامَةٍ …
Dari Jabir (meriwayatkan), ia berkata, …sampai di Muzdalifah beliau melakukan salat Magrib dan Isya dengan satu kali azan dan dua qamat dan beliau tidak melakukan salat antara keduanya, kemudian Rasul saw tidur hingga terbit fajar, lalu beliau salat subuh ketika waktu Subuh tiba dengan azan dan qamat.
Kedua, sementara untuk yang berhalangan, diperkenankan berhenti sejenak di Muzdalifah dengan tetap di kendaraan atau turun dari kendaraan dan meninggalkan Muzdalifah sebelum fajar. Hal ini sesuai hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Aisyah r.a.,
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: «نَزَلْنَا الْمُزْدَلِفَةَ، فَاسْتَأْذَنَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سَوْدَةُ أَنْ تَدْفَعَ قَبْلَ حَطْمَةِ النَّاسِ، وَكَانَتِ امْرَأَةً بَطِيئَةً، فَأَذِنَ لَهَا، فَدَفَعَتْ قَبْلَ حَطْمَةِ النَّاسِ،وَأَقَمْنَا حَتَّى أَصْبَحْنَا نَحْنُ، ثُمَّ دَفَعْنَا بِدَفْعِهِ، فَلَأَنْ أَكُونَ اسْتَأْذَنْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَمَا اسْتَأْذَنَتْ سَوْدَةُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ مَفْرُوحٍ بِهِ
Dari Aisyah r.a. berkata, kami sampai di Muzdalifah, kemudian Saudah meminta izin kepada Nabi saw untuk berangkat mendahului rombongan. Saudah sendiri merupakan perempuan yang lambat (karena gemuk). Lalu Nabi mengizinkannya. Sehingga ia berangkat mendahului rombongan, adapun kami tetap di sana (bermalam di Muzdalifah) sampai pagi hari, baru kemudian kami menyusul. Sungguh, meminta izin bagiku ke Rasulullah sebagaimana meminta izinnya Saudah adalah sesuatu yang paling aku cintai daripada hal yang menyenangkan.
Dua poin yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa, pada prinsipnya mabit dilaksanakan di Muzdalifah hingga fajar sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah. Namun, apabila ada kesulitan yang menjadi alasan (‘użur) yang dibenarkan oleh syariat (syar‘i) maka anjuran bermalam (mabit) boleh diganti dengan melewati (murur) lalu turun atau tetap di atas kendaraan.
Poin kedua sekaligus menjadi dasar kebolehan skema murur yang direncanakan oleh Pemerintah sebagai pengganti mabit di Muzdalifah bagi kelompok Resiko terkena penyakit (riski), lansia, difabel dan para pendamping. Dalam skema yang dirilis oleh pemerintah disebutkan, Murur akan berlangsung pada 9 Zulhijjah dari pukul 19.00-22.00 waktu Arab Saudi. Jamaah akan bergerak dari Arafah, melewati Muzdalifah, tidak turun dan langsung menuju Mina.
Uzur, dalam hal ini, tidak hanya dilihat dari aspek kondisi jamaah yang memiliki fisik lemah, baik karena rentan terserang penyakit, maupun karena lansia, juga karena keadaan-keadaan tertentu. Misalnya saja, para pendamping kaum difabel, yang bisa jadi mereka secara fisik sehat dan sempurna, tapi karena mendampingi, maka diperkenankan untuk murur. Termasuk juga keadaan area yang kian sempit disebabkan oleh pembangunan beberapa fasilitas di area Muzdalifah. Apalagi, di tahun 2024, 21% jamaah haji dari Indonesia terdiri dari kelompok lansia, rentan sakit dan difabel. Kepadatan jamaah yang dibarengi dengan sempitnya space menyebabkan semakin tingginya potensi sakit bagi jamaah lansia, riski dan difabel.
Dalam sebuah kaidah fikih disebutkan
إِذَا تَعَذَّرَ الْأَصْلُ يُصَارُ إِلى الْبَدَلِ
Apabila hukum asal sulit untuk direalisasikan, maka bisa beralih kepada pengganti.
Kaidah ini menjadi dasar peralihan dari mabit ke murur. Dalam konteks haji, mabit berada dalam kedudukan al-aṣl, dan murūr dalam kedudukan al-badl. Dengan demikian, jika mabit sebagai asal hukum sukar untuk dilaksanakan karena ada alasan syar‘ī maka penunaiannya bisa dengan melaksanakan murūr sebagai pengganti dari hukum pokok.
Dasar kaidah ini juga menunjukkan bahwa jamaah yang memenuhi syarat untuk melaksanakan murur, maka dia tidak terkena dam sebagai denda. Sebab hakikatnya ia tidak meninggalkan atau tidak mengerjakan salah satu dari rangkaian haji sehingga layak terkena dam. Ia tetap dianggap melaksanakan seluruh rangkaian, dengan mabit di Muzdalifah diganti dengan murur melewati Muzdalifah.
Jamaah yang boleh murur juga bisa melewati Muzdalifah di malam tersebut, kapan saja dengan tidak terbatas pada awal, tengah maupun akhir malam. Hal ini didasari dari analisis secara bahasa pada hadis Saudah yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa Saudah berangkat duluan sebelum Rasulullah dan rombongan yang lain tanpa ada perincian kapan Saudah berangkat ke Mina. Dalam hadis menggunakan kata qablahu wa qabla ḥaṭmah an-nās, sementara qablah adalah kata yang menunjukkan waktu secara umum yang meniadakan informasi spesifik waktu keberangkatan Saudah. Dengan demikian, Aisyah r.a. sebagai periwayat tidak memberikan penjelasan (tark al-istifṣāl) atas waktu Saudah diizinkan Rasulullah untuk bertolak dari Muzdalifah. Dalam sebuah kaidah usul disebutkan,
حكاية الحال اذا ترك فيها الاستفصال تقوم مقام العموم في المقال
Penyampaian informasi terkait suatu keadaan tanpa ada perincian menunjukkan berlakunya keumuman pada keadaan tersebut..
Telaah kebahasaan ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa waktu malam (al-lail) pada hadis yang menerangkan Saudah bertolak dari Muzdalifah, adalah seluruh malam, baik awal, pertengahan maupun akhir malam. Dengan demikian, murur yang dilaksanakan pun juga tidak terikat pada awal, tengah atau akhir malam.
Kesimpulan:
Pertama, prinsipnya secara normal jamaah haji dituntunkan untuk bermalam di Muzdalifah pada malam 10 Zulhijah hingga terbit fajar, baru kemudian berangkat ke Mina;
Kedua, bagi yang mengalami kesulitan (uzur) baik karena kondisi fisik, maupun keadaan, boleh baginya untuk mengganti mabit di Muzdalifah dengan murur;
Ketiga, Jamaah yang memenuhi kriteria kebolehan murur bisa melakukan murur kapan saja, awal, tengah atau akhir malam dan tidak terkena dam.
Sumber: https://muhammadiyah.or.id/2024/06/murur-di-muzdalifah-bolehkah/