Tanazul ke Hotel Setelah Berada di Mina, Bolehkah?
Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Jilid III, disebutkan setelah mabit dan melaksanakan berbagai ibadah di Muzdalifah, jamaah dituntunkan menuju ke Mina. Di Mina, jamaah melempar jumrah aqabah sebanyak 7 kali lemparan menggunakan batu kerikil. Hal ini sebagaimana yang disebutkan salah satunya Hadis Nabi saw dari Sahabat Ibn Abbas r.a. yang diriwayatkan oleh Muslim,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، عَنِ الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَكَانَ رَدِيفَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، « أَنَّهُ قَالَ فِي عَشِيَّةِ عَرَفَةَ وَغَدَاةِ جَمْعٍ لِلنَّاسِ حِينَ دَفَعُوا: عَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ، وَهُوَ كَافٌّ نَاقَتَهُ حَتَّى دَخَلَ مُحَسِّرًا – وَهُوَ مِنْ مِنًى – قَالَ: عَلَيْكُمْ بِحَصَى الْخَذْفِ الَّذِي يُرْمَى بِهِ الْجَمْرَةُ، وَقَالَ: لَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُلَبِّي حَتَّى رَمَى الْجَمْرَةَ
Dari Ibn Abbas, dari al-fadl ibn Abbas-ketika ia membonceng di belakang Rasulullah saw (diriwayatkan) bahwa beliau berkata kepada orang-orang di sore hari Arafah dan pagi hari di Jamak saat mereka berangkat. “hendaklah kalian berjalan dengan tenang.” Dan ia senantiasa menjalankan untanya dengan pelan-pelan hingga beliau memasuki lembah Muhassir, dan saat itu ia datang dari Mina. Ia berkata, “hendaklah kalian mengambil kerikil untuk melempar jumrah”.
Terkait pelaksanaan ibadah haji di Mina ini, Pemerintah juga merencanakan skema tanazul dalam rangka mengantisipasi kepadatan jamaah. Meski area di Mina lebih luas dari Muzdalifah, space setiap jamaah masih relatif sempit, hanya mendapat 0,79 cm. Pelaksanaannya, setelah dari Muzdalifah pada tahun 10 Zulhijah kembali ke penginapan. Para jamaah selanjutnya kembali ke Mina keesokan harinya untuk melaksanakan rangkaian ibadah di Mina. Hal ini menunjukkan, pada hakikatnya tanazul yang dimaksud oleh pemerintah adalah pulang ke hotel di sela-sela melaksanakan ibadah yang dituntunkan selama di Mina, termasuk di antaranya melempar jumrah, baik melempar sendiri atau diwakilkan, sementara yang diwakili tetap berada di tenda Mina.
Dalam konteks ini, Prinsip Kemudahan dengan asas memelihara agama (hifẓ ad-dīn) dan memelihara jiwa (hifẓ an-nafs) sejatinya menjadi dasar kebolehan skema tanāzul bagi pihak yang dikhawatirkan akan mengalami kesulitan bahkan membahayakan jika ikut berdiam di Mina. Prinsip kemudahan ini memang ditetapkan Allah pada setiap pelaksanaan ibadah-ibadah yang disyariatkan. Di antara dalil yang menunjukkan hal itu:
1) Potongan ayat ke 78 surat al-Hajj,
…وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ …
…dan (Allah) tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama…
2) Potongan ayat 185 al-Baqarah,
…يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ…
…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran…
3) dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Aisyah r.a. disebutkan,
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها أَنَّهَا قَالَتْ: مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ، وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ، فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا
Dari Aisyah r.a. bahwa ia berkata, Rasulullah tidak pernah memilih salah satu antara dua hal, kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya selama yang mudah itu bukanlah dosa. Jika itu adalah dosa, maka sungguh, beliau adalah manusia yang paling menjauhinya. Nabi saw pun tidak pernah membenci karena pertimbangan diri sendiri, kecuali berkaitan dengan kehormatan Allah. Sehingga beliau membenci sesuatu karena Allah swt.
Dalil-dalil ini juga sejalan dengan beberapa kaidah fikih. Di antaranya,
المشقة تجلب التيسير
Kesulitan menghendaki adanya kemudahan
Juga kaidah lain berbunyi,
إذا ضاق الأمر اتسع
Sesuatu jika dirasa sulit maka beralih menjadi mudah
Dalam kitab Jāmi’ al-Masā`il fī ‘Ilm al-Uṣūl wa al-Maqāṣid, disebutkan bahwa masyaqqah yang dimaksud di sini adalah beban dan kesukaran yang dialami oleh seseorang dalam pelaksanaan hukum syariat. Sehingga termasuk dalam hal ini keadaan tubuh seseorang yang lemah karena usia yang renta, begitu juga fisik yang rentan terserang penyakit, apalagi kondisi disabilitas yang dialami seseorang sangat layak dikategorikan sebagai masyaqqah yang menyulitkan pelaksanaan haji secara normal. Dengan demikian, murūr dan tanāzul yang menjadi skema untuk mengatasi kesukaran ini merupakan bagian dari kemudahan (taisir) dan bentuk pelonggaran (ittisā’) yang diperbolehkan. (tuntunan manasik haji, bab 9, ibadah di Muzdalifah, butir 2)
Perlu diperhatikan bahwa, bagi yang melaksanakan skema tanazul, tidak dikenai dam selama tanazul karena hakikatnya tidak ada ibadah yang ia tinggalkan ketika melakukan tanazul. Begitu jika ia tanazul dan mewakilkan lempar jumrah kepada jamaah lain yang masih muda, maka ia pun tidak dikenai dam. Hal ini sesuai dengan pendapat jumhur kecuali mazhab malikiyyah yang tetap mewajibkan dam.
Hal yang berbeda jika, ia seorang jamaah yang sama sekali tidak ke Mina dan karena itu meninggalkan ibadah yang dianjurkan seperti melempar jumrah, maka terkena padanya wajib dam. Hal ini karena ia telah meninggalkan salah satu kewajiban dari rangkaian ibadah haji. Dalam HPT Jilid III disebutkan bahwa salah satu yang menyebabkan wajibnya dam/hadyu adalah meninggalkan satu kewajiban haji seperti melempar jumrah, ihram dari miqat, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina atau tawaf wadak. Ketentuan ini berdasakan pada al-Baqarah ayat 196,
وَاَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ ۗ فَاِنْ اُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ…
Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Akan tetapi, jika kamu terkepung (oleh musuh), (sembelihlah) hadyu) yang mudah…
Kesimpulan:
Pertama, pada prinsipnya, ibadah yang dituntunkan dalam haji adalah mabit di Mina setelah dari Muzdalifah dan melempar jumrah serta melaksanakan ibadah-ibadah selanjutnya;
Kedua, Tanazul diperbolehkan, bagi jamaah yang memiliki uzur syar‘i, baik terkait kondisi fisik, seperti risiko sakit, lansia, difabel dan lansia, maupun uzur yang berkenaan dengan keadaan tempat dan kondisi pelaksanaan. Kebolehan tanazul ini didasari atas prinsip kemudahan, pemeliharaan agama, dan penjagaan jiwa;
Ketiga, Tanazul yang dimaksud di sini adalah pulang-balik dari Mina ke Hotel di sela-sela melaksanakan ibadah di Mina. Sehingga, hakikatnya ketika melakukan tanazul, bukan berarti sama sekali tidak di Mina dan tidak mengerjakan ibadah selama di mina;
Keempat, bagi jamaah yang bertanazul dan ketika waktu melempar jumrah ia berada di tenda Mina, dan mewakilkan pada jamaah lain, maka ia tidak dikenai dam;
Kelima, jamaah haji yang sama sekali berhalangan ke Mina dan tidak melaksanakan ibadah yang disyariatkan di Mina, maka ia dikenai dam, karena telah meninggalkan salah satu kewajiban haji.
Sumber: https://muhammadiyah.or.id/2024/06/tanazul-ke-hotel-setelah-berada-di-mina-bolehkah/